SELAMAT DATANG DI BLOG PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE KOMISARIAT UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG--WWW.SHTERATEUNDIP.BLOGSPOT.COM-- GREETINGS BROTHERHOOD

Jumat, 04 September 2009

OLAH RASA (1)

SANG NARAYANA
Oleh; Djk, teriring ucapan selamat ikut melestarikan "Wayang" Warisan Budaya DUNIA dari INDONESIA. Cerita ini ntuk latihan olah rasa yg berhubungan dengan pikiran.

Sekarang ini aku lagi “leyeh-leyeh” waktu terang bulan di gunung nan indah, banyak pohon pinus n menikmati kemuliaan yg kudapat. Ndak terasa tahu-tahu kok dah tuwek gitu. Tak kupungkiri bahwa kemuliaanku ini karena aku PINTER leh meguru. Yaaa gak nyangka dan nduga lo hasil coba-coba dan bisa, berkat senjata Cakra Baswara. Uji coba pertama Cakra untuk melebur si angkara Kangsa, tapi masih bersamaan dengan Nenggala milik kakak Kakrasana. Klo yang murni kehebatan Cakra ya untuk melebur si Ditya Kala Kresna pemilik kerajaan Dwaraka ini. Ah…… teringat peristiwa ketika menerima wejangan bapa Antyogopa untuk mencari ngelmu.

“Ngger,…sekarang nanda telah dewasa, carilah ilmu, karena dengan ilmu itu nanda dapat berguna, melalui kekuatan, kekayaan atau kepintaran. Bapakmu ini sudah tua, derajad demang kiranya ndak cukup mendukung kemulianmu. Ilmu itu didapat dari laku, bisa dari bertapa atau meguru sesuaikanlah dengan keadaanmu senang yang mana, syaratnya cuma madhep dan mantep cukup untuk angger.” Kakakku Kakrasana yg “kondhang” ndak sabaran lalu bilang : “Baik pak, aku akan menjalani bertapa aja. Aku ndak sabar klo meguru dan belum lihat guru yang cocok biasanya lama dan cem-macem mintanya. Aku hanya minta doa dan restu karena aku percaya bapak ini di samping demang kan nyambi kondhang jadi dukun ampuh, pasti manjur. Dah pak aku berangkat jangan diharap pulang sebelum berhasil” gitu itu kakakku, nyalami bapak, cium tangan terus “mak klepat” pergi. Yaaa, gitulah kakakku walau gak sabaran tapi kalau sama dulurs mbelainnya sepenuh hati. Pernah lo, dik Rara Ireng digodain ama lelaki desa ndak perlu nunggu di jalan langsung didatangi itu rumahnya dan yng diamuks itu ya bukan anaknya aja tapi bapak ibunya “ katut” jian buat orang “kamigilan”. Aku berpikir ndak seperti kakak, aku lebih senang meguru aja: “Bapak aku akan meguru aja, tapi aku minta kakak Udawa dijinkan menemani aku” , “ya ya ya ngger, itu juga bagus pilihlah guru yang baik martabatnya, ngerti hukum, beribadah, yang jernih pikirannya. Syukur dapat orang yang berhasil dalam tapanya, tidak mengharapkan imbalan, gitu kata bapak”.” Ya bapak, aku juga mohon doa restu, titip adik-adik”.

Ternyata cari guru ya ndak mudah, pernah meguru di kota para Hyang-hyang tapi gak sreglah habis situasinya “empuk-eyup” penuh irama surgawi, dan gak tahan lihat cewek-cewek bak bidadari. Dalam kebingungan ya enak masuk hutan aja sambil rekreasi dengarkan “kutut manggung versi alam”. Eee… ndak nyangka , jebulnya aku ketemu sama “wong tuwo” yg nurutku berpengetahuan luas, punya kewibawaan dan pesona kiranya seperti yang disarankan bapakku, namanya Begawan Padmanaba. Aku disuruh mampir ke padepokannya di Untara Segara. Singkatnya aku jadi meguru disana, dan ternyata juga arti padepokan itu ndak sama dengan kamus. Klo di kamus artinya tempat bertapa/tempat menyendiri tapi disana itu diajari juga bertempur/guelut gitu. Yang latihan aku, kakang Udawa dan dik Permadi. Dik Permadi itu putranya tante Kunthi, hebatlah dia itu. Klo aku sambung dengan kakang udawa, kakang pasthi kurang cepat geraknya sering kena tendangan atawa pukulan. Tapi anehnya tetap tegar, ndak ada itu ekspresi sakit, apa punya ilmu kebal ya?.” Ah.. ndak kok dik kakak cuma “ngempet” aja agar adik bisa tetap semangat dan maju, klo kebal ya kebal muka is gak nduwe isin hehehe” katanya. Gitulah kakak Udawa kasih-sayangnya berlebih padaku, aku tetap ingat itu. Tapi klo aku sambung dengan dik Permadi wuah repot sekali, aku sendiri gumun sering dalam sambung saling serang-hindar-tangkis dengan imbang, tapi klo dah gitu tahu-tahu dik Permadi “gedruk lemah ping limo” dan aku jadi keteteran. Gitu itu bapa guru diam aja, dan biasanya yang menghentikan itu ya kakang Udawa.

Singkat cerita dah 35 bulan purnama meguru, dan purnama berikutnya merupakan akhir, semua dikumpulkan diberi pitutur: “ Angger semuanya, aku senang semua ilmuku telah nanda kuasai, dan tibalah saat untuk mendharmabaktikan kepada sesama.. Artinya angger semua harus kembali ke khalayak ramai, sangat tidak tepatlah kesatria berada di padepokan sampai akhir hayat. Pesanku jagalah persaudaraan di antara kalian, rerukunan dengan saling mengingatkan sehingga nanda tetap mulia adanya. Dharmakanlah ilmu yg nanda peroleh untuk keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan sesama hidup. Memayu hayuning bawana begitulah. Sekarang ini baru ngetren angkara murka, maka ingatkanlah mereka, dan lindungi yang lemah dengan ilmu yang telah nanda kuasai. Saya sangat percaya bahwa angger semua mampu”. Dik Permadi langsung pulang, aku dan kakang Udawa juga pulang tapi masih senang di hutan. Ternyata nasihat bapa guru benar, hutan yang dulu rimbun, sekarang jadi “gundhul” dan banyak orang dengan kepentingan cem-macem. Dulu sering terdengar “Kutut manggung” secara alami sekarang ini diganti Kutut Manggung irama Sinden. Aku sih seneng-seneng aja lebih-lebih sinden dari Nogiri, malah Kakang Udawa makin “prigel ndjoged”/nari“ bersama itu sinden “lha wong ketiban sampur je, ya sisanke rak wis , hehehe”

Sambil “ngematke” suasana hutan, aku merenung, ada sesuatu yang kurang gitu pikiranku melayang jauh. Tiga murid ilmunya sama, tak ada keunggulan diri ini, apalagi pesan yang jadi amanah bapa guru itu tidak main-main. Maka kakang Udawa kupanggil dan kuajak kembali ke Padepokan.”Untuk apa dik?”, “kakang aku ide supaya aku lebih mantap untuk kembali pulang. Ingatlah, amanah bapa guru itu sangat berat”. “Ya wislah kakang manut aja, asal jangan kau tinggal” gitu katanya. Di padepokan, bapa guru berkata: “Angger Narayana, ada apakah gerangan nanda kembali, padahal semua ilmu telah kuberikan. Baik ilmu phisik-metafisik, yang terlihat-tak terlihat mata, yang terdengar-tak terdengar telinga, yang diomongkan-tak diomongkan mulut, yang dipikir-tak dipikir oleh otak, nanda telah kuasai semua?”. “ duh sang guru mohon kiranya sudi memaafkan saya, bukan berarti saya tidak percaya ilmu yang bapa berikan, tetapi bagaimanakah caranya agar saya bisa memayu hayuning bawana dengan tanda khusus seperti yang bapa miliki sehingga disegani kawan dan ditakuti lawan? Terlihat bapa guru merenung sejenak dan memandang tajam kepadaku dan dengan ramah berkata: “ Aduh angger…., memang benarlah bahwa angger tersurat sebagai penggantiku dan meneruskan tugas-tugasku di bawana ini. Aku tidak keberatan untuk memberikan semua tanda-tandaku. Ketahuilah angger ada tiga tanda yang menyertaiku untuk memayuhayuning bawana. Pertama berwujud senjata bernama CAKRA BASKARA/BASWARA sangat tajam, kuasanya bisa menghancurkan makhluk angkara murka, Ke Dua berupa bunga bernama WIJAYA KESUMA sangat harum baunya, bisa menghidupkan dari kematian yang belum saatnya. Ke Tiga adalah mantram yang nantinya bisa untuk menakut-nakuti lawan karena wujudmu akan berubah langsung menjadi raksasa besar BRAHALA jika saja nanda dalam keadaan terkejut. Kiranya sekarang angger telah tahu siapakah diriku dan dirimu “sebagai pengemban tugas Memayu hayuning Bawana” dan nanda berhak bernama Padmanaba. Bersiaplah angger untuk menerima semuanya”. Aku dan guruku patrap “mahening suci” dan terasa ke tiga senjata yang menjadi tanda/sipat kandel menyatu, ketika kubuka mataku sang Begawan Padmanaba tidak ada. Terngiang ditelinga, “ jangan meninggalkan Permadi yg lugu n jujur ya, ndak sepertimu yang pinter n jangan meri klo Permadi lebih banyak cewek yang cinta dibanding kamu“.

“Dik kopine diombe, ngapa ngelamun pengin rabi maneh? “Oh ya kakang patih Udawa ndak lah yau lha “mbok ndhewor sangat galak” harap maklum.Ternyata menjadi BRAHALA terbukti karena pendhito Durna “ngeget-geti”/mengejutkan aku yg lagi pacaran mbek RUKMINI hehehe. Klo KEMBANG WIJAYA KESUMA sangat jarang kugunakan malahan beralih fungsi untuk pengobatan, seringnya ya untuk ngobati si Werkudara yang kesakitan kalo pahanya kena tendangan lawan-lawannya.

Selain itu aku juga merenung, siapa penerusku mengingat aku ini raja bukan guru? Prediksiku makin lama tekanan angkara murka semakin hebat n buanyak, n semakin canggih gitu. Sipat kandelku ini tentu sangat suliiiit diterima akal. Aku berharap dan minta pada yang maha kuasa sipat kandelku ini berubah menyesuaikan jamannya. Kalo CAKRA ya berubah jadi JURUS YG MEMATIKAN gitulah, KEMBANG WIJAYA KESUMA ya jadi PITUTUR n KAWRUH yg mampu membuat “hidup lebih hidup”. Sedangkan BRAHALA ya berubah jadi SEMANGAT DADAKAN spt yang dicontohkan “ buktikan merahmu” gitu. Lha perkara nama PADMANABA ya silakan saja disesuaikan agar mudah misalnya PADMA = TUNJUNG = TERATE = LOTUS apa ada yg lain ya ntuk jadi wadhah/lembaga ? Klo bisa, tentu penjaga untuk membuat rahayu bawana ini bukan hanya seorang aja spt diriku, tapi bisa buanyak orang sehingga ndak repotlah menandhingi itu angkara murka sekaligus membuat sempit daerah operasinya dengan semboyan “banyak kawan itu masih sedikit, satu musuh itu terlalu banyak”. Gitu itu telingaku berdenging “ Lha kalo ada yang mau ilmunya tapi ndak mau kumpul dengan lembaganya piye? Aaaah……..embuh ah!! Sahuuuuuur,sahuuuuuuur, sahuuuuuuur!!! Woooo,….. jebulnya ngimpi, hehehehe.

0 komentar:

  © ryanwidhi teratediponegoro by shterateundip.co.cc 2008

Wangsul Maleh Dateng Inggil